Tulisan ini berhubungan dengan tulisan saya sebelumnya tentang sebuah diskusi mengenai rilis sebuah produk di tempat saya bekerja. Disclaimer, saya bukan meng-endorse Apple dan segala produknya, saya sendiri hanya pernah menggunakan (dipinjami) salah satu produk Apple untuk kebutuhan pekerjaan.
Apple Tax, seperti namanya adalah “pajak” yang harus dibayarkan seseorang atau badan usaha agar bisa menggunakan barang maupun jasa yang berhubungan dengan Apple. Setiap tahun Google membayar Apple sebanyak 15 milyar USD supaya Apple menjadikan mesin pencari default di Safari maupun Siri untuk iPhone, iPad, dan Macbook. Kalau dirupiahkan, saat tulisan ini dibuat, nilainya setara dengan 213,1 triliun rupiah, setara dengan 8% APBN negara kita.
Google sebagai perusahaan terbaik di muka bumi untuk urusan iklan, mulai dari mesin pencarinya, Youtube, sistem operasi Android yang menjadi sistem operasi paling populer, dengan pengguna mencapai 73%, masih harus setor upeti ke Apple hanya karena urusan “sepele”, yang saya yakin andaikan Safari tidak menggunakan Google, pasti user akan memilih Google sebagai default. Apple sendiri bukannya tidak pernah mencoba menyaingi Google, pernah suatu masa Apple mengembangkan Apple Map, mencoba menyaingi Google Maps, tapi gagal total.
Sekarang pertanyaannya, kenapa harus setor pajak ke Apple, bukannya urusan iklan, jumlah pengguna Android, maupun pengguna Google Search sudah sebih dari cukup untuk menjadikan iklan di Google akan sampai ke target pasar mereka? Jawabannya, ternyata secara statistik, iklan dari Google lebih banyak yang berakhir dengan pembelian jika berasal dari pengguna Apple. Sementara dari Android, walaupun lebih banyak tayang / dilihat / diklik, tidak banyak yang berakhir dengan pembelian. Itu sebabnya Google rela merogoh koceknya karena pendapatan Google sendiri juga tergantung dari iklan yang masuk, sementara para pengiklan tentunya akan puas jika bisa meningkatkan penjualan atau popularitas produk mereka.
Di forum-forum anti Apple, para pengguna produk Apple sering dilabeli dengan sebutan iSheep (domba, dengan konotasi bodoh, penurut, mudah dikendalikan), lantaran Apple dikenal menjual produk yang kelewat mahal, dengan fitur yang jika dibandingkan dengan produk non Apple, masih kalah secara performa. Belum lagi ada banyak sekali “Paywall”, atau harus bayar ini itu jika ingin menggunakan produk di AppStore, bandingkan dengan Google PlayStore yang dicintai para pecinta gratisan hehe. Jadi secara alamiah, Apple sudah menjadi filter antara orang yang punya uang ekstra dan yang pas-pasan, itu kesimpulan saya, tentunya akan ada yang tidak setuju dan mengatakan applikasi-applikasi di iOS jauh lebih unggul dibanding Android, atau Mac OS, lebih unggul dari Windows dsb, tapi bukan itu poinnya, dan tidak perlu juga kubu-kubuan seperti bubur ayam diaduk ataupun terpisah.
Terjawab sudah tulisan saya sebelumnya, kenapa kami mendahulukan mengembangkan aplikasi iOS sebelum Android. Meskipun target utama pengguna aplikasi kami adalah Android, sekali lagi karena kebutuhan perusahaan tentunya lebih mudah untuk membeli ponsel Android untuk pekerjanya dibandingkan dengan iPhone, tapi untuk membuat pemangku kebijakan perusahaan menyetujui penggunaan aplikasi kami jika mereka bisa mencoba dan mengamati langsung applikasi tersebut. Tentunya mereka adalah pemakai iPhone, setidaknya itu yang bos maupun PM amati di dalam usaha mereka menjual produk perusahaan kami.